Mimpi

Mimpi.

Satu kata yang telah menghantui manusia dengan bayangan-bayanganya, tidak menenangkan bahkan masih samar. Kehadirannya selalu menyertai dimana pun kita berada. Di rumah, di antara keluarga, di kelas, di perkuliahan, di kantin, di tongkrongan, di dalam setiap pembicaraan, dalam keramaian bahkan dalam sepi sekalipun. Tidak pernah tertinggal. Bergelanyut kemanapun kita pergi. Dan dapat dipastikan, mimpi selalu bersemayam di sana. Hanya bernaung dalam pikiran atau dalam bentuk pertanyaan atau bahkan dalam bentuk lelucon yang menyedihkan. Mungkin karena saking tidak realistisnya. Lucunya, kita tetap saja bermimpi.

Apakah bermimpi dilarang? Tentu tidak. Justru kita semua wajib bermimpi. Sebab, dengan begitu kita bisa menghargai setiap keringat yang menetes atas usaha yang dilakukan. Karena mimpi juga, kita bisa menjalani hari dengan bijak (lebih produktif), mengevaluasi hari-hari yang telah lalu dan menyongsong hari esok yang lebih indah.

Beberapa hari yang lalu aku membaca novel, judulnya Ulid karya Pak Mahfud Ihkwan dan aku banyak belajar dari tokoh utamanya Muhammad Maulid (disapa Ulid). Bagi seorang Ulid, bermimpi tidak sesimpel memakan enaknya buah bengkuang yang dipanen menggunakan tangannya sendiri dengan bangga atau tidak sesimpel memakan buah salak yang dibawa pamannya ketika pulang dari Malaysia, yang belakangan dia tau kalau ternyata buah salak tersebut hanya dibelinya dari pasar kecamatan. Menyoal mimpi memang selalu ribet, tidak sederhana sama sekali. Di hadapan Ulid, mimpi menjadi dua hal yang kompleks antara rasional dan irasional. Mungkin juga di hadapan beberapa dari kita, bukan hanya ulid.

Dalam novel ini juga, Ulid memberikan saran untuk bermimpi secara masuk akal, yang bisa diterima oleh akal secara sadar. Setelah kupikir-pikir, ada benarnya juga. Karena meminimalisir sakit yang ditimbulkan dari ekspektasi yang mungkin sudah melampaui batas. Meskipun begitu kita tetap harus bermimpi. Walaupun sebenarnya, kita tidak ada apa-apanya dihadapan taqdir, manusia bisa apa selain menerima?

Bukankah kita sudah dibiasakan untuk menerima?

Tapi, menerima saja tidak cukup. Bukankah kita diajari untuk mencintai? Tentu mencintai jauh lebih sulit dari sekedar menerima. Ya, mencintai dengan segala tanggung jawabnya.

Sekian~


Komentar

Postingan Populer